Sabtu, 29 Juli 2017

Selalu Ada Lebih Dari Dua Pendapat.






Buya selalu gunakan tradisi Fiqh aktsaru min qaulayn 


DISKUSI SOBAT PERUBAHAN.

بسم الله الرحمن الرحيم

    الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه ومن والاه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

أما بعد:

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga terlimpah ke atas utusan terpilih, Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

Pagi ini Cak Bustomi, jurnalis dan santri muda dari Jawa Timur yang kental "ngajinya" menyampaikan berita yang dia muat di portal Cakrawarta tentang ucapan Menteri Agama mengenai dana haji boleh di investasikan untuk pembangunan infrastruktur. Ada beberapa orang yang memberikan tanggapan tentang berita itu. Dari mulai Khatami, aktivis HMI Jakarta mahasiswa Universitas Islam Attahiriyah, Ahmad Afdhal yang seorang profesional jebolan pesantren,  sampai kepada KH. DR. Iqbal Kilwo, Lc. M.A., alumni Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir jurusan ilmu syari'ah. Juga KH. DR. Buchori A. Shamad, Lc., MA alumni PM Darussalam Gontor dan Universitas Ummul Quro, Saudi Arabia satu kampus dengan KH. Prof. DR. Said Aqil Sirodj di Ummul Quro. 
Cak Bustomi bertanya, "Gimana nih Buya boleh atau tidak ?"

Buya menjawab pertanyaan Bustomi itu dengan mengajak kepada sebuah pemikiran yang lebih ke hulu. Bukan menjawab kepada detil kasusnya yang berada di hilir. Buya memberikan pandangan dalam sebuah artikel agar komprehensif dengan menggunakan metode The Devil's Advocate, menggunakan cara "melawan arus" pemikiran mengikuti gaya Ivan Illich yang saya kagumi sejak mahasiswa tahun 1970-an dulu. 

Allah Azza Wa Jalla berfirman, أَفَلَا تَعْقِلُونَ "Afalaa ta'qiluun"  yang artinya, "maka tidaklah kamu berpikir?". Beberapa kali afaala ta'qiluun disebutkan dalam Al Qur'an atau begitu juga dengan afalaa tatafakkaruun. Yang jelas makna kedua penggalan kata tersebut begitu dalam. Yaitu bagaimana memanfaatkan anugerah otak yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Afaala ta'qiluun sendiri disebutkan oleh Al-Qur'an pada akhir ayat-ayat Qur'an. Mengapa pada akhir ayat? Salah satu hikmah yang dapat kita petik adalah pada saat kita mengakhiri bacaan tersebut, Allah ingin kita tidak berhenti pada proses membaca saja tapi melanjutkannya pada proses berpikir. 
Berpikir adalah salah satu upaya untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan sehingga dua posisi otak tersebut berkembang secara optimal. Afalaa ta'qiluun adalah sebuah daya picu dalam Al-Qur'an kepada ummat Islam untuk berpacu mendaya-gunakan akal fikiran untuk menyelesaikan tanggung-jawab kekhalifahan di muka bumi. Setiap orang berfikir mempunyai model dan caranya masing-masing sehingga memberikan jalan berbeda. Ada berfikir cara orang umum, cara berfikir orang yang berilmu dan juga ada cara berfikir ulama. Dalam ilmu tasawuf hal ini disebut maqam atau kedudukan.
Cara dan metode berfikir menghantarkan seseorang pada peningkatan posisi secara sosial dalam masyarakat. Di sisi lain akan memberikan kedudukan di sisi Rabb. Banyak nama-nama besar ilmuwan dan ulama yang sampai hari ini masih hidup dikala tulang belulang mereka telah menyatu dengan tanah. Inilah titik awal berangkat tulisan Buya kali ini, yaitu pemikiran.

Para Ustadz dan para kyai kelompok diskusi Sahabat Perubahan yang saya muliakan. Secara normatif-metafisis, Islam memiliki wajah tunggal yang bersifat sakral, transendental, dan transhistoris yang melampaui ruang dan waktu. Namun secara historis-sosiologis, Islam ternyata memiliki multi-wajah yang dipengaruhi secara kultural. Islam yang mempunyai multi-wajah ini bisa kita lihat dalam kajian teologis (aqidah), yuridis (fikih), tafsir, ushul fikih, dan tasawuf misalnya.
Sejak wafatnya Nabi Muhammad Rasulullah saw. umat Islam selalu dihadapkan dengan beragamnya keyakinan (aqidah) umat Islam, baik mengenai ketuhanan, kenabian, wahyu, maupun persoalan-persoalan ghaybiyyat lainnya. Secara teologis Islam selalu hadir dalam wajahnya yang beragam, dalam bentuk Murjiah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, maupun Ahlusunnah.

Tradisi keilmuan fikih juga memiliki keragaman wajah Islam.

Kongkritnya Buya akan bersandar pada tradisi keilmuan Fiqh yang punya banyak ragam wajah Islam yang begitu hebat. Fiqh selalu memegang tradisi aktsaru min qaulayn (lebih dari dua pendapat) yang berarti selalu ada kemungkinan kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini. Sebuah hadist mengatakan la yafqahu al-rajulu hatta yara fi al-qur'ani wujuhan katsiratan (tidak dianggap faqih seseorang sehingga dia melihat banyak dimensi dalam Al-Qur'an).

Perbedaan pendapat adalah inti dari ajaran fiqh. Oleh sebab itu, kita tak bisa bicara tentang satu Islam secara fiqh. Begitulah Buya selalu memberikan pengajaran fikih yang multi wajah dalam setiap pengajian fikih, dan tidak pernah mengarahkan, apalagi mewajibkan untuk mengikuti salah satu pandangan. Terserah mereka para murid saja. (Beberapa orang yang selalu hadir dalam pengajian fikih Buya diantaranya ada dalam group Sobat Perubahan ini, seperti Ki Gunawan Suharto, Andi Ahmad Sanusi, Yana, Khalid Mahmood, ibu Soemiati Darsono dan Lenny Rivianti, Ustadz Budi Mustofa dari Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta dan Vina Puspita, dll.)

Dalam metode penafsiran, kita juga disuguhkan berbagai macam metode tafsir bil matsur, ra'yi, maudhui, ijtimai, zamani, dan lainnya. Begitu juga dalam kajian ushul fikih, sejak era klasik hingga kini kita menemukan metode yang sangat kaya, seperti ushul fikih klasik Imam Syafi'i, Imam Ghazali, dan Syathibi, sampai ushul fikih kontemporer yang dikonstruksi oleh Fazlur Rahman, Jamal Al-Banna, dan Abid Al-Jabiri. Demikian pula dalam bidang tasawuf, kita menemukan multi-wajah pemikiran sekaligus pengamalan tasawuf, mulai dari tasawuf falsafi, akhlaki, amali, sampai tasawuf modern dan positif.

Apalagi kalau kita melihat wajah Islam dalam tataran sosiologis, maka kita akan menyaksikan potret Islam yang sangat majemuk. Oleh sebab itu, dalam perspektif Buya Syafi'i Ma'arif, bukanlah sebuah kesalahan terminologis jika ada sebutan Islam India, Islam Nigerian, Islam Amerika, Islam Iran, Islam Jepang, Islam Arab, Islam Turki, Islam Brunei, Islam Perancis, Islam Indonesia dengan segala variasinya, dan seterusnya. Jangankan yang serba besar itu, orang juga biasa menyebut Islam menurut paham Muhammadiyah, paham NU, paham Persis, Islam paham garis keras, dan lain-lain. 

Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika cendekiawan muslim sekaliber Ibrahim Moosa dan Aziz Al-Zameh menyatakan dengan tegas: There are many 'islams' with a small 'i'; ada begitu banyak wajah Islam dengan huruf 'i' kecil. Artinya, Islam dalam dimensi pemikiran dan pengamatan umat Islam secara sosial memiliki wajah yang amat kaya. Dalam kajian teks-teks sakral, hal ini menunjukkan doktrin fundamental Islam (Al-Qur'an) yang bersifat multi-interpretatif sekaligus sebagai kreator dalam menginspirasi umat Islam untuk memproduksi berbagai pemikiran konseptual dan konstruk sosial sepanjang masa.

Persoalannya, terkadang tampil pula wajah Islam yang berwatak radikal, ekstrem, ataupun puritan yang menyuguhkan panorama ke-ber-agama-an yang bernuansa absolutisme, rigid, garang, dan intoleransi terhadap terhadap berbagai wajah Islam kultural yang berbeda. Sebagaimana diartikulasikan secara argumentatif oleh Khaled Abou El Fadl, orang-orang puritan atau kaum radikal tidak perduli dengan Islam yang hidup, Islam yang dinamis. Pelbagai bentuk sosiologis dan anthropologis Islam, apakah dari masa kini atau masa silam, dinyatakan sebagai tidak relevan dan bahkan menyimpang. 
Sebaliknya, orang-orang puritan betul-betul terobsesi oleh dan menggandrungi Islam yang dibayangkan-baik sebagai masa silam yang dibayangkan dalam bentuk mitologi atau masa depan yang dibayangkan dalam bentuk utopia yang dijanjikan.

Dalam era kontemporer dewasa ini, tidak jarang kita menyaksikan tampilnya wajah Islam yang garang, anarkis, dan menyulut berbagai bentuk kekerasan sosial. Padahal potret Islam yang ditampilkan oleh kalangan radikal tidaklah bersifat absolut dan satu-satunya konstruksi Islam yang benar. Sebab konstruksi keberagamaan yang mereka tampilkan secara sosial kepada masyarakat luas dalam bentuknya yang rigid, intolerans, dan terkadang anarkis, hanyalah salah satu bentuk hasil pembacaan mereka terhadap doktrin-doktrin fundamental Islam: Al-Qur'an dan Sunah yang bersifat multi-interpretatif.

Karena sifat Al-Qur'an dan Sunah yang poly interpretable (hammalat lil wujuh), maka cukup bijak kiranya jika kita menyadari bahwa tidak pernah ada pandangan tunggal terhadap Islam dalam menyikapi problem-problem sosial politik kemasyarakatan. Walaupun demikian, Buya sepakat dengan Khaled Abou El Fadl, bahwa Islam yang autentik adalah Islam humanistik yang menebarkan pesan kasih sayang, rahmat, cinta (mahabbah) dan keindahan. Islam humanistik ini memiliki orientasi religius yang bersifat fokus pada mengakhiri penderitaan manusia dan yakin bahwa kesejahteraan dan kemajuan merupakan tugas Ilahiah.

Karakter humanistik Islam tersebut ditunjukkan dalam keyakinan bahwa pencapaian kebaikan di muka bumi adalah bagian dari merealisasikan kebaikan Allah, dan menegakkan keindahan di dalam hidup adalah ciri utama dari pencerminan keindahan Allah. Bagi Khaled, idealnya mendorong dan menyebarkan cinta itu tak terpisahkan dari perintah Al-Qur'an untuk saling mengenal satu sama lain. Humanisme Islam berarti bahwa dengan mencintai Allah, orang yang beriman memancarkan kasih sayang dan kepedulian terhadap semua makhluk.

Oleh karena itu, mencintai Allah berarti menterjemahkan perintah Allah untuk 'saling mengenal' (ta'aruf) menjadi keharusan etis untuk berupaya menciptakan kondisi moral dan material yang sangat diperlukan yang memungkinkan orang bisa mencintai satu sama lain. 
Perintah Allah Azza Wa Jalla kepada manusia untuk berta'aruf, mengenal orang lain, bukanlah ajakan untuk proses menghimpun data yang tanpa hati nurani mengenai orang lain. Akan tetapi, ia adalah bimbingan Allah dan nasihat kepada kaum beriman untuk menyadari bahwa sisi esensial dalam mengenal dan mencintai Allah adalah mengenal dan mencintai Khalifah Allah di muka bumi. Menurut Al-Qur'an, manusia mewarisi bumi dan diwajibkan memelihara dan melindungi warisan Allah ini.
Selain itu, manusia menempati status mulia dengan menjadi raja-raja kecil Allah. Dalam perspektif Khaled, teologi inilah yang menjadi inti humanisme religius Islam.

Andi Ahmad Sanusi, pasti selalu ingat akan perkataan Buya selama ini, "Jika ada seseorang bertanya kepada Buya maka Buya akan menjawab bahwa saya ini Islam, Sunni, Ahlusunnah Wal Jamaah, I'tiqad (aqidah) saya adalah Al-Asy'Ariyyah Wal Maturidiyyah, mazhab Fiqh saya mendahulukan Imam Syafi'i tanpa menafikan yang lain dan Thoriqoh saya adalah Syadziliyyah serta paham politik saya mengikuti trilogi Syarikat Islam yaitu sebersih-bersih Tauhid, setinggi-tinggi ilmu dan sepandai-pandai siyasah.".

Terakhir Cak Bustomi, jika slogan jihad era klasik adalah "Siapa yang berani berbaiat kepadaku untuk mati di jalan Allah", maka slogan jihad masa kini adalah "Siapa yang berani berbaiat kepadaku untuk hidup di jalan Allah". Singkatnya, jihad masa kini bukanlah bagaimana kaum muslim mati di jalan Allah, melainkan bagaimana kaum muslim hidup di jalan Allah. Ini adalah pandangan Jamal Al Banna adiknya Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Dengan paradigma demikian, wacana jihad dalam Islam tidak berwarna anarkisme, radikalisme, ekstremisme, ataupun terorisme, melainkan proaktif, progresif, inspiratif, dan transformatif bagi perubahan masyarakat Islam. Tapi apakah betul demikian? Nanti kita bahas di lain kesempatan.

Demikian Ustadz Bustomi, Buya mencoba mengajak ke sebuah pemikiran, dan agar kita bebas, tidak terpaku pada satu pendapat saja maka kita buang dan lepaskan segala sekat-sekat yang mengungkungnya. Diskusi ini memang bukan untuk orang awam atau Al-Awamul Ghoflatih tetapi bukan berarti tidak bisa, selama kita mau membuang sementara sekat-sekat yang ada agar dapat menerima sebuah pemikiran lain. Boleh jadi ini bisa disebut sebagai the devil's advocate. Buya harapkan adanya tanggapan dan juga koreksi atas tulisan ini, karena kita semuanya sedang belajar dan belajar terus sampai liang lahad, seperti qaul sebagian ulama salaf yang mengatakan
 اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
Artinya, "Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.". Silahkan Kyai DR. Iqbal Kilwo jika antum ada tanggapan dan sanggahan. Tafadhal. 

Wallahu a'lam bishshowab.
Billahi Fii Sabilil Haq. 

Jakarta, 5 Dzul Qa'idah 1438 H (29/7/2017)

@MEI