Sabtu, 21 Mei 2016

7. JAM' DAN FARQ

Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-jam', berkaitan dengan hal-hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt. ) seperti munculnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-jam'."

Definisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam' dan farq.  Sebab kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan.  Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketaatan dan pengingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af'al Allah swt., maka sang hamba telah menyaksikan al-jam'Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah,  dan penetapan Al-Haq merupakan predikat al-jam'.

Bagi hamba haruslah berkondisi jam' dan farq.  Sebab siapa yang tidak berposisi farq,  ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapapun yang tidak berposisi jam', ia tidak pernah ma'rifat kepada-Nya.  Firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعبُدُ
Artinya: "Hanya kepada-Mu kami menyembah", merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya:
وَإِيَّاكَ نَستَعِينُ
Artinya: "dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan", merupakan isyarat al-jam'.

Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya melalui bahasa munajatnya, apakah memohon, berdoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri ataupun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun,  apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yang telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya,  ataupun yang dikenalkan oleh-Nya makna-makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan yang diperlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam'.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha'luky r.a. ('Engkau buat menjadi bersih pandanganku kepadamu'). Ketika itu Abul Qasim an-Nashr Abadzy hadir disana.  Lalu Ustadz Abu Sahl berkata, َجَعَلت ('huruf ta' dinashab'). Maka Abu Nashr Abadzy,  berkata: ُجَعَلت ('huruf ta' di dhammah')."

Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan ُجَعَلت = kujadikan  berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri,  seakan-akan sang hamba berkata,  ini  Jika ia berkata َجَعَلت = engkau jadikan,  seakan-akan mengatakan, bebas dari beban.  Bahkan ia berkata kepada Tuhannya, "Engkaulah Yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku. Yang pertama,  berkaitan dengan bisikan doa, dan yang kedua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka bedakan antara orang yang mengatakan,  "Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,"  dan  ucapan orang,  "Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu,  aku menyaksikan-Mu."

Adapun jam'ul jam'i di atas semua itu.  Manusia memiliki frekuensi masing-masing sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka.  Barangsiapa menetapkan atas dirinya,  berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan,  berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-jam'. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan,  lebur dari dirinya,  dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat,  maka tahap inilah yang disebut jam'ul jam'i.

Tafriqah adalah penyaksian terhadap makhluk, hanya untuk Allah swt.  Al-jam', adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt., dan jam'ul jam'i, berarti sirna dengan universalitas,  dan fana'-nya rasa kepada selain Allah swt.  ketika terlanda hakikat. Jam'ul jam'i merupakan kondisi mulia.  Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefardhuan dengan segenap waktunya,  sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt., bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal zatnya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.

Sebagian Sufi mengisyaratkan kata al-jam' dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk.  Maka globalitas dari keseluruhan dari keseluruhan dalam proses bolak-balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah Yang memunculkan substansi-substansi mereka itu.  Allah-lah Yang menjalankan sifat-sifat mereka.  Kemudian Allah swt. memisahkan dalam ragam:  Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,  dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya. Pada satu golongan Allah memuliakan melalui karamah-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt. memutus kehendak mereka untuk menyatakan Diri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Bahkan ada golongan yang lebih didekatkan dan dihadirkan, kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan.   Ragam Af'al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. 

Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jam' dan farq:
Engkau telah membuat nyata-Mu
dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu 
Kita berkumpul bagi makna-makna
dan berpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
yang mendekatku.

Mereka bersyair lagi:
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
adalah dua dalam satu bilangan.

Pondok Al-Qusyairiyah, 14 Sha'ban 1437 H.
MEI
Gambar ilustrasi 
Lukisan karya
KH. Luqman Hakim, Ph.D., MA, SHI.
Syaikh Thariqah Syadziliyyah,
Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah.

Jumat, 06 Mei 2016

6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD

Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dikategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.

Dalam bab wazan Tafa'ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair:

Bila kelopak mata menjadi sempit
dan pelaku tiada lagi sulit membuka
lalu kurobek mata, tanpa cela

Ada pandangan yang menyatakan,  "Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq."

Ada pula yang mengatakan, "Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut."

Hikayat yang bisa dikenal,  muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy r.a., bahwa ia berkata, "Ketika aku disisi al-Junayd,  di sana ada Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri,  sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,  'Tuanku,  tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?' Al-Junayd menjawab, 'Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.' (Q.s. an-Naml: 88).  Lalu al-Junayd pun bertanya, 'Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?'  Aku katakan, 'Tuanku, ketika aku hadir di suatu tempat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, maka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud'."

Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,  sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.

Saya mendengar Syeikh Abu ad-Daqqaq r.a. berkata, "Apabila manusia menjaga diri dengan etika keutamaan saat dalam penyimakan. Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya."

Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para syeikh mengatakan, "Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jamak al-wujd) merupakan buah dari wirid. Setiap orang yang bertambah upaya ruhaninya,  Allah pun akan menambah kelembutannya."

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Sesuatu yang sampai ke dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya.  Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti sesuatu hal yang dilakukan melalui muamalat lahiriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam batin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari muamalat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun."

Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wajdWujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa' ketika muncul kekuasaan Hakikat.  Inilah arti dari ucapan Husain an-Nury, "Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni:  Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhanku."

Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, "Ilmu Tauhid merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya."  Dalam konteks artian ini, penyair berkata:

Wujud-ku ada ketika aku ghaib dari wujud
Karena yang tampak padaku dalam syuhud (penyaksian).

Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedangkan wujd mengharuskan ketenggalaman hamba.  Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan hamba.  Seperti orang yang menyaksikan lautan.   Kemudian mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan,  mulai dari:  Qushud (bermaksud), Wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai."

Bagi orang yang ber- wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah keabadiannya dengan Al-Haq, sedangkan kondisi mahw-nya adalah kefana'annya dengan Al-Haq.   Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai (wushul). Karena itu,  Rasulullah saw. bersabda (Hadis Qudsi), "Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat."

Manshur bin Abdullah berkata, "Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian bertanya, 'Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud?'   'Benar.  Cahaya yang memancar, bersamaan dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.' demikian jawab asy-Syibly."

Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu'tazz: 

Gelas yang dibasahi air karena cemerlang beningnya,
Lalu mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
diwarisi 'Aad dari negeri Iram
sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya

Suatu kisah berkenaan dengan Abu Bakr ad-Duqqy: "Jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannya ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil.  Ad-Duqqy sendiri seorang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi,  Abu Bakr ad-Duqqy berkata, 'Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!"  Sementara Jahm ad-Duqqi adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata,  'Ini dia!' Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi.  'Wahai Syeikh,  tobat! tobat!' teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy melepaskannya."

Semangat Jahm benar,  dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insyaf dan berdamai.
Begitu pula dengan orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal,  tidak paham serta tidak merasa. Istri Abu Abdullah at-Targhundy berkata, "Ketika bencana kelaparan sedang melanda,  sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah.  Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, 'Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.'  Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak itu ia tidak pernah bangkit,  kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia."

Kisah ini menunjukkan,  bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat.  Demikianlah sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya,  dikarenakan kepeduliannya  (syafaqah) terhadap nasib sesama kaum Muslimin.  Inilah derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya. 

Masjid An-Nuur, 30/7/1437 H 

MEI 

Gambar ilustrasi 
Lukisan karya Sang Begawan 
Syeikh Luqman Hakim
Syeikh Thoriqoh Syadziliyyah 

Selasa, 03 Mei 2016

5. HAIBAH DAN UNS

Rasa takut disertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada diatas tingkat khauf, dan basth di atas tingkat raja', maka haibah lebih tinggi daripada qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth.
(catatan MEI:  Maksudnya, uns lebih tinggi tahapnya. Sebab haibah muncul dari qabdh, yang bermula dari khauf.  Sedangkan uns muncul dari raja'. Karena orang yang takut kepada Allah swt. melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya,  dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah,  sehingga muncullah haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus,  kalbunya akan lapang dan mendapatkan uns.)

Hak haibah adalah keghaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam keghaiban. Orang-orang yang berada dalam ghaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam keghaiban.

Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasan dalam bagian "minuman jiwa".  Mereka berkata, "Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh."

Al-Junayd r.a. berkata, "Aku mendengar batinku berkata, 'Seorang hamba bisa sampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.'  Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu."

Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-'Ikky, ia berkata,  "Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya, 'Wahai Tuanku, Anda berbuat demikian pada diri sendiri,  sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.'  Ia menjawab,  'Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka, beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu akan merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu.  Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan'."

Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang,  karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba.  Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin.  Mereka hangus dalam wujud nyata.  Tidak ada haibah dan tiada pula uns, tidak ada ilmu maupun rasa.

Cerita ini dikenal dari Abu Sa'id al-Kharraz:  "Suatu saat di kampung  aku berkata:
Aku datangi, maka aku tak mengerti dari mana, siapa aku,
kecuali apa yang dikatakan manusia
pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusianya
Jika tak kutemui seorang pun,
aku datangi diriku.

Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku:
Amboi,  siapa yang tahu sebab-sebab
yang lebih luhur wujud-nya,
lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
dan dengan manusia.
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat,
pada jin dan manusia."

Pondok Al-Qusyairi, 25/7/1437 H

MEI

Gambar ilustrasi 
Lukisan karya 
Syeikh DR. KH. Luqman Hakim, MA 
Syeikh Thoriqoh Syadziliyyah 

Senin, 02 Mei 2016

4. QABDH DAN BASTH

Kedua istilah itu merupakan kondisi ruhani setelah seorang hamba menahapi tingkah laku al-khauf dan ar-raja'Al-Qabadh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-basth, setara kedudukannya dengan ar-raja' di mata pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.

Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth, dan Raja'
- Al-Khauf:  Muncul dari sesuatu di masa depan,  terkadang takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
-Ar-Raja': Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan kehilangan yang ditakuti,  serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula [dalam dunia Sufi].
-Al-Qabdh: Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga basth.

Orang yang mempunyai khauf dan raja',  hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian.
Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dan basth menurut keterpautan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan dari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominasi pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.

Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth): Kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mabsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.

Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Disana ada seorang anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya [yang bisa merusak kalbunya]. Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa iba kepada al-Qihthy, seraya berkata, 'Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak yang jelek itu?'  Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikitpun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran.  Mereka berkata, 'Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi oleh puncak-puncak bukit?"  Al-Qihthy menjawab, 'Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam Azali'." (Artinya, ia tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt., sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.)

Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang didalamnya seseorang berhak untuk bersopan-santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.

Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, qabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.

Terkadang sebab-musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya.  Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini adalah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari,  justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap qabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su'ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman:
والله يقبض ويبسط وإليه ترجعون
Artinya: "Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Q.s. al-Baqarah: 245).

Terkadang basth datang seketika,  tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga dia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh,  jika demikian,  dia harus tenang dan menjaga adab. Pada waktu itu,  dia sedang mengalami bisikan yang besar.  Karena itu,  si pelaku harus menghindari makar yang samar di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, "Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku."  Karenanya berkatalah mereka, "Bertetaplah pada kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya melapangkan."

Ada ahli hakikat (tahqiq) mengkategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang di atasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.

Al-Junayd, "Al-khauf dari Allah membuatku tergenggam. Dan ar-raja' dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana' dari diriku. Apabila ar-raja' melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku. Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa gembiraku. Aku, dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana'ku datang dari diriku,  membuatku nikmat,  atau menggaibkan dariku, sehingga aku ringan."

Baiti Jannati, 24/7/1437 H.

MEI

Lukisan Ilustrasi 
Karya Sang Guru 
SYEIKH LUQMAN HAKIM 

Minggu, 01 Mei 2016

3. HAAL

Al-Haal (kondisi ruhani), menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam hati;  tanpa adanya unsur sengaja,  usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau sukacita. Maka setiap al-haal merupakan karunia.  Dan setiap maqam adalah upaya. Pada al-haal, datang dari wujud itu sendiri, sedang  al-maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.  Orang yang memiliki maqam, menempati maqam-nya, dan orang-orang yang berada dalam haal, bebas dari kondisinya.

Salah seorang guru berkata, "Beberapa al-haal seperti kilatan, kalau menetap, itu sekadar omongan nafsu."

Mereka berkata, "Al-Haal itu sebagaimana namanya, yakni,  al-haal seperti ketika menempati dalam kalbu,  kemudian hilang:

Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang.

Beberapa kalangan mengisyaratkan abadinya al-haal.  Mereka berkata, "Sebenarnya jika al-haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus,  dinamakan al-haal."

Disinilah Abu Utsman al-Hiry berkata, "Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku."  Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-haal.

Seharusnya dikatakan: Orang yang mengisyaratkan abadinya al-haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-haal berarti bagian dari seseorang, kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu: Jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut,  ia naik ke ihwal yang lebih lembut. Dan begitulah selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.

Pondok Al-Qusyairi,  23/7/1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi