Jumat, 06 Mei 2016

6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD

Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dikategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.

Dalam bab wazan Tafa'ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair:

Bila kelopak mata menjadi sempit
dan pelaku tiada lagi sulit membuka
lalu kurobek mata, tanpa cela

Ada pandangan yang menyatakan,  "Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq."

Ada pula yang mengatakan, "Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut."

Hikayat yang bisa dikenal,  muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy r.a., bahwa ia berkata, "Ketika aku disisi al-Junayd,  di sana ada Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri,  sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,  'Tuanku,  tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?' Al-Junayd menjawab, 'Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.' (Q.s. an-Naml: 88).  Lalu al-Junayd pun bertanya, 'Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?'  Aku katakan, 'Tuanku, ketika aku hadir di suatu tempat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, maka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud'."

Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,  sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.

Saya mendengar Syeikh Abu ad-Daqqaq r.a. berkata, "Apabila manusia menjaga diri dengan etika keutamaan saat dalam penyimakan. Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya."

Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para syeikh mengatakan, "Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jamak al-wujd) merupakan buah dari wirid. Setiap orang yang bertambah upaya ruhaninya,  Allah pun akan menambah kelembutannya."

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Sesuatu yang sampai ke dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya.  Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti sesuatu hal yang dilakukan melalui muamalat lahiriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam batin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari muamalat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun."

Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wajdWujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa' ketika muncul kekuasaan Hakikat.  Inilah arti dari ucapan Husain an-Nury, "Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni:  Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhanku."

Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, "Ilmu Tauhid merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya."  Dalam konteks artian ini, penyair berkata:

Wujud-ku ada ketika aku ghaib dari wujud
Karena yang tampak padaku dalam syuhud (penyaksian).

Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedangkan wujd mengharuskan ketenggalaman hamba.  Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan hamba.  Seperti orang yang menyaksikan lautan.   Kemudian mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan,  mulai dari:  Qushud (bermaksud), Wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai."

Bagi orang yang ber- wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah keabadiannya dengan Al-Haq, sedangkan kondisi mahw-nya adalah kefana'annya dengan Al-Haq.   Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai (wushul). Karena itu,  Rasulullah saw. bersabda (Hadis Qudsi), "Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat."

Manshur bin Abdullah berkata, "Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian bertanya, 'Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud?'   'Benar.  Cahaya yang memancar, bersamaan dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.' demikian jawab asy-Syibly."

Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu'tazz: 

Gelas yang dibasahi air karena cemerlang beningnya,
Lalu mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
diwarisi 'Aad dari negeri Iram
sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya

Suatu kisah berkenaan dengan Abu Bakr ad-Duqqy: "Jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannya ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil.  Ad-Duqqy sendiri seorang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi,  Abu Bakr ad-Duqqy berkata, 'Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!"  Sementara Jahm ad-Duqqi adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata,  'Ini dia!' Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi.  'Wahai Syeikh,  tobat! tobat!' teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy melepaskannya."

Semangat Jahm benar,  dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insyaf dan berdamai.
Begitu pula dengan orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal,  tidak paham serta tidak merasa. Istri Abu Abdullah at-Targhundy berkata, "Ketika bencana kelaparan sedang melanda,  sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah.  Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, 'Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.'  Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak itu ia tidak pernah bangkit,  kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia."

Kisah ini menunjukkan,  bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat.  Demikianlah sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya,  dikarenakan kepeduliannya  (syafaqah) terhadap nasib sesama kaum Muslimin.  Inilah derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya. 

Masjid An-Nuur, 30/7/1437 H 

MEI 

Gambar ilustrasi 
Lukisan karya Sang Begawan 
Syeikh Luqman Hakim
Syeikh Thoriqoh Syadziliyyah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar