Sabtu, 30 April 2016

2. MAQAM

Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya,  di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju kepada-Nya.

Syaratnya,  seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepenuhnya qana'ah,  belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat,  tidak sah pula ber-inabat. Dan siapa yang tidak wara', tidak sah untuk ber-zuhud.

Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal,  dan al-makhraj berarti al-ikhraaj.  Tidak seorangpun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut,  yang dengannya struktur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.

Saya mendengar Abu Ali as-Daqqaq r.a. berkata,  "Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur,  bertanyalah ia kepada para santri Abu Utsman, 'Apa yang diperintahkan syekh kalian kepada kalian?'   Mereka menjawab,  'Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.'  Maka al-Wasithy berkata,  'Syekh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah syekh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang ghaib dengan memandang kepada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang ghaib?'  Maksud al-Wasithy dengan kata-kata itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian itu bisa merasukkan adanya cacat dalam adab.

B.S. Darussalamah, 22/7/1437 H

MEI

Gambar Ilustrasi MAQAM 

Jumat, 29 April 2016

1. WAKTU

Esensi Waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, 'Engkau didatangi awal bulan', maka 'kedatangan' merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata,  "Waktu adalah sesuatu yang engkau berada di dalamnya.  Kalau engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Ketika engkau senang, maka senang itulah waktumu. Kalau engkau susah, susah itulah waktumu."  Maksud syekh tadi, waktu memiliki definisi yang umum bagi manusia.

Ada kalanya waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antar dua zaman:  Yang lampau dan yang akan datang.

Mereka juga mengatakan, bahwa seorang Sufi merupakan anak sang waktu.  Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan prioritas utama yang harus dikerjakan ketika itu,  mandiri terhadap perolehan seketika.

Dikatakan, "Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tetapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu."   Dikatakan,  "Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya."

Terkadang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan oleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi diri mereka. Mengatakan [si Fulan dengan hukum waktu], yakni:  Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri.  Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt., atau terapan menurut hukum syariat.  Karena adanya penelantaran terhadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, disamping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yang Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.

Mereka berkata, "Waktu adalah pedang." Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran akan melewatinya.

Dikatakan, "Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran."

Seperti dalam bait ini:
Dan seperti pedang
jika tak mencegahnya untuk menyentuh tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.

Barangsiapa ditolong sang waktu,  maka waktu hanya baginya.  Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah kepadanya.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu,  tanpa melenyapkanmu sama sekali."

Sang Syekh bersyair:
Setiap hari ia lewat meraih tanganku
Memberikan penyesalan dalam hatiku
kemudian ia berlalu.

Dalam syair pula:
Seperti penghuni neraka
jika kulit-kulitnya terpanggang matang
kembali pula kulit itu,
bagi suatu penderitaan.

Dikatakan:
Bukanlah orang mati itu
orang istirahat sebagai mayit
Tapi orang mati itu
Kematian hidupnya.

Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya.
Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shaw), maka ia tegak mandiri dengan syariat.  Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi,  yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

Ponpes Al-Qusyairiy, 21 Rajab 1437 H.

MEI

Ilustrasi 

Kamis, 28 April 2016

II. TERMINOLOGI TASAWUF

Ketahuilah, bahwa setiap golongan dari para ulama mempunyai terminologi praktis yang selalu menjadi patokan. Mereka, dengan penggunaan kata-kata tersebut, melakukan internalisasi yang berbeda dengan lainnya, sebagaimana mereka sepakati untuk tujuan mereka, agar dipahami kelompok massanya, atau terpaku pada makna-maknanya secara global. Mereka menggunakan kata-kata yang dimengerti oleh mereka, dengan maksud agar makna di dalamnya hanya bagi mereka, membuat tirai bagi orang yang menentang tharikatnya, agar makna kata-kata mereka menjadi samar bagi orang lain, sebagai bentuk fanatis terhadap rahasia-rahasia mereka, agar tidak tersebar kepada yang bukan ahlinya.  Sebab hakikat mereka bukanlah kumpulan dari ragam tugas,  atau tertarik oleh macam upaya.  Namun, tasawuf merupakan makna-makna yang telah diciptakan Allah swt. dalam setiap kalbu kaum Sufi, dan hakikat-hakikatnya tersari dari rahasia-rahasia kaum Sufi tersebut.

Kami bermaksud menjelaskan kata-kata tersebut agar mudah difahami oleh orang yang mau bersikukuh mendalami makna-maknanya dari mereka yang menempuh jalan tasawuf dan mengikuti tradisi mereka.*

*Ungkapan dari para Sufi sering kontra terhadap sebab logika duniawi, ketika mereka menguraikan tentang kondisi ruhani, hasrat dan bisikan hatinya, serta rasa terdalam nya. Ungkapan itu tidak bisa menggambarkan kilatan atau rasa yang begitu cepat,  dan sulitnya mencari wujud serupa dalam realitas.

Baitussujud Darussalamah, 20 Rajab 1437 H

MEI

Gambar Ilustrasi 

Rabu, 27 April 2016

ALLAH SWT. YANG HAQ

Para syaikh dari thariqoh ini mengatakan soal tauhid:  Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahakasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Mahaagung, Mahaluhur, Mahabicara, Maha Melihat, Mahabesar, Mahahidup, Mahatunggal, Mahaabadi, dan segalanya bergantung kepada-Nya.

Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Mahakuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat,  Maha Mendengar dengan sifat Sam',  Maha Melihat dengan sifat Bashar, Mahabicara dengan Kalam, dan Mahahidup dengan Hayat, serta Mahaabadi dengan Baqa'.

Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupakan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Mahasuci Allah dari segala keharusan menentukan,  dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.

Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.

Allah adalah Tunggal Dzat-Nya, Yang tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.

Allah bukan jasad, materi,  benda dan bukan sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.

Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.

Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira,  dan dari hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana Dia mencipta dan apa yang dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya: Di mana Dia, dan bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul kata-kata: Kapan Ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga dikatakan, "Melampaui kekinian dan zaman." Tetapi Allah tidak bisa dikatakan: Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu?  Karena, tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.

Allah juga tidak bisa dipertanyakan: Apakah Dia? Karena Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya.  Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.

Dia memiliki Asma'ul Husna dan Sifat-sifat Luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi penghinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului qadha'. Apa yang diketahui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang. Dia berkehendak untuk tidak terjadi.

Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan submateri. Allah Yang Mengutus utusan untuk para umat, bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan para Nabi a.s., tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan menentang-Nya. Dan Nabi kita Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar.  Khulafaur-Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat Nabi saw.,  selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para auliya'-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan ijma'.  Dan rekayasa kebatilan sirna melalui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan oleh para pejuang agama,  karena firman Allah swt.:
ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
Artinya: "Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. ash-Shaff: 9).

Baitussujud Darussalamah, 19 Rajab 1437 H.

MEI 

Ilustrasi 

Sabtu, 23 April 2016

ARASY

Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah SWT.:

الرحمن على العرش استوى 

Yang artinya: "Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy." (Q.S. Thaaha: 5).
Jawabnya, "Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap Yang Maha Pemurah (al-Rahman) menjadi semayam(-Nya)."

Ja'far bin Nashr di tanya soal ayat tersebut. "Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu itu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain."
Ja'far ash-Shadiq berkata, "Barangsiapa berpraduga bahwa Allah SWT. ada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung sesuatu."

Ja'far ash-Shadiq menafsirkan Kalamullah, "Kemudian Dia mendekat, lalu tambah dekat lagi." (Q.S. An-Najm: 8), bahwa, "Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang di maksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma'rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh."

Al-Karraz berkata, "Hakikat mendekat adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah SWT."

Ibrahim al-Khawwas menegaskan, "Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati seorang laki-laki yang di rekadaya setan, sehingga aku harus mengumandangkan adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya, 'Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata: al-Qur'an adalah makhluk'."

Ibnu Atha' (Washil bin Atha' al-Mu'tazily) berkata, "Sesungguhnya Allah SWT. ketika menciptakan huruf-huruf, Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam a.s., diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di kalangan malaikat-Nya satu pun.  Kemudian huruf-huruf itu meluncur dari lisan Adam a.s. melalui struktur yang berlaku dan struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut."

Ibnu Atha' menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yang diperbuat.

Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen, "Tawakal adalah perbuatan kalbu, dan Tauhid merupakan ucapan kalbu."

Al-Husain bin Mansur berkata, "Siapa yang mengenal hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan: Mengapa dan Bagaimana."

Al-Wasithy menegaskan, bahwa tidak ada yang lebih mulia dari makhluk Allah ketimbang ruh.

Pondok Al-Qusyairiy, 15 Rajab 1437 H

MEI

Gambar ilustrasi 

Kamis, 21 April 2016

KUFUR

Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepada Allah. Jawabnya, "Kufur dan iman, dunia dan akhirat;  dari Allah,  kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagai tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa' dan fana' nya,  dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan."

Dikatakan oleh al-Junayd,  bahwa sebagian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab al-Junayd, "Tauhid adalah keyakinan."
"Jelaskan padaku, apa tauhid itu? " demikian kata si penanya.
"Tauhid adalah ma'rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt.,  Dia Maha Esa tidak berkawan.
Apabila Anda sudah berpandangan demikian,  Anda telah menauhidkan-Nya." jawab Junayd.

Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan. "Doakan aku!" kata orang tersebut. "Kalau Anda benar-benar mantap dalam ilmu ghaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian, suatu doa tidak mungkin bisa menyelematkan orang tenggelam." jawab Dzun Nuun.

Abul Hasan an-Nury berkata,  "Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaratkan kepada Allah,  bahwa Dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan." Sedangkan Abu Ali ar-Rudzbary ketika ditanya soal Tauhid, menjelaskan,  "Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan dan pengingkaran terhadap keserupaan.  Tauhid melebur dalam satu kalimat,  yaitu: Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah swt.  pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu." Karena firman Allah swt.:
ليس كمثله شيء، وهو السميع البصير
Artinya: "Tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. asy-Syuura 11)

Abul Qasim an-Nashr Abadzy berkata, "Surga abadi dengan keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya kepadamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya. Dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya."
Ahlul Haq berkata, "Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena abadi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul haq."

Nashr Abadzy menandaskan, "Anda bersimpang-siur antara sifat-sifat kerja (fi'l) dengan dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial. Apabila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda di integrasi oleh sifat-sifat fi'l. Jika sampai pada tahap al-Jam'u, Anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya."

Sang Syaikh, Imam Abu Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan,  "Ketika aku datang dari Baghdad,  aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh.  Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk.  Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kami mendengarkan pembicaraanku.  Hingga berlalu beberapa hari kemudian,  ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra', 'Aku bersaksi,  sesungguhnya aku seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,' katanya sambil menunjuk ke arahku."

Dikisahkan tentang Yahya bin Mu'adz,  bahwa seseorang telah berkata kepadanya,  "Tolong beritahu aku mengenai Allah swt.? "  Yahya menjawab,  "Tuhan Yang Maha Esa."  Lalu dia katakan kepada Yahya, "Bagaimana Dia?"  "Dia Raja Yang Maha Kuasa," jawab Yahya.  Orang itu kembali bertanya, "Dimana Dia?"  "Dia benar-benar mengawasi, " jawabnya.  "Aku tidak bertanya tentang ini," tandas si penanya. Maka Yahya menjawab,  "Tidak ada lagi selain itu."

Ibnu Syahin bertanya kepada Junayd tentang makna:  ma'a. Junayd menjawab,  bahwa ma'a mengandung dua makna: ma'al an-biyaa' (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt.: 
إني معكما أسمع وأرى
Artinya: "Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua,  Aku mendengar dan melihat." (QS. Thaaha: 46).
Dan makna ma'a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah swt. berfirman:
ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم
Artinya: "Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,  melainkan Dialah yang keempatnya." (QS.  al-Mujaadilah: 7).
Ibnu Syahin berkomentar,  "Orang seperti Anda benar-benar layak untuk menyampaikan petunjuk kepada umat,  mengenai Allah swt."

Pondok Al-Qusyairiy, 13 Rajab 1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi Property of
museumdantanahliat. com 

REZEKI

Rezeki hamba diciptakan hanya untuk Allah swt., begitu juga tak ada Pencipta bagi mutiara-mutiara dan materi, kecuali Allah swt.

Abu Sa'id al-Kharraz mengatakan, "Siapa saja yang menduga bahwa apabila seseorang mencurahkan tenaganya terhadap tujuan yang diraihnya,  berarti ia tertolong. Dan barangsiapa menduga tanpa jerih-payah akan mendapatkan yang diraihnya,  berarti hanya angan-angan belaka."

Al-Wasithy berkata, "Maqam-maqam (tahapan) yang diraih terdiri dari bagian-bagian yang terbagi, dan predikat yang diberlakukan:
Bagaimana semuanya ditarik dengan gerakan atau diperoleh dengan usaha?"

Pondok Al-Qusyairiy, 13 Rajab 1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi 

Jumat, 08 April 2016

IMAN

Abu Abdullah bin Khafif berkata,  "Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib."
Abul Abbas as-Sayyary berkata, "Pemberian Allah itu ada dua macam: Karamah dan Istidraj. Segala hal yang menetap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala hal yang sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja,  'Aku beriman, Insya Allah'!"

Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan,  "Orang-orang yang beriman melihat Allah swt.  dengan mata hati,  tanpa pangkal batasan dan kawasan."

Abul Husain an-Nury berkata,  "Kalbu adalah tempat penyaksian Al-Haq. Kami tidak pernah melihat kalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi'raj,  sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt. dan penyempurnaan."

Abu Ustman al-Maghriby berkata,  "Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku.  Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah. 'Aku sekarang masuk Islam,  dengan Islam yang baru (sebenarnya)'."

Abu Ustman ditanya soal makhluk. Jawabnya,  "Cetakan dan bayangan,  yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasaan Ilahi."

Al-Wasithy berkata,  "Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah,  dan keduanya pun tampak dengan ijinNya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zat-nya, seijin Allah.  Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah."

Pondok Al-Qusyairiy, 11 Rajab 1437 H.

MEI