Jumat, 29 April 2016

1. WAKTU

Esensi Waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, 'Engkau didatangi awal bulan', maka 'kedatangan' merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata,  "Waktu adalah sesuatu yang engkau berada di dalamnya.  Kalau engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Ketika engkau senang, maka senang itulah waktumu. Kalau engkau susah, susah itulah waktumu."  Maksud syekh tadi, waktu memiliki definisi yang umum bagi manusia.

Ada kalanya waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antar dua zaman:  Yang lampau dan yang akan datang.

Mereka juga mengatakan, bahwa seorang Sufi merupakan anak sang waktu.  Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan prioritas utama yang harus dikerjakan ketika itu,  mandiri terhadap perolehan seketika.

Dikatakan, "Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tetapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu."   Dikatakan,  "Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya."

Terkadang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan oleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi diri mereka. Mengatakan [si Fulan dengan hukum waktu], yakni:  Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri.  Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt., atau terapan menurut hukum syariat.  Karena adanya penelantaran terhadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, disamping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yang Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.

Mereka berkata, "Waktu adalah pedang." Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran akan melewatinya.

Dikatakan, "Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran."

Seperti dalam bait ini:
Dan seperti pedang
jika tak mencegahnya untuk menyentuh tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.

Barangsiapa ditolong sang waktu,  maka waktu hanya baginya.  Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah kepadanya.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu,  tanpa melenyapkanmu sama sekali."

Sang Syekh bersyair:
Setiap hari ia lewat meraih tanganku
Memberikan penyesalan dalam hatiku
kemudian ia berlalu.

Dalam syair pula:
Seperti penghuni neraka
jika kulit-kulitnya terpanggang matang
kembali pula kulit itu,
bagi suatu penderitaan.

Dikatakan:
Bukanlah orang mati itu
orang istirahat sebagai mayit
Tapi orang mati itu
Kematian hidupnya.

Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya.
Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shaw), maka ia tegak mandiri dengan syariat.  Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi,  yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

Ponpes Al-Qusyairiy, 21 Rajab 1437 H.

MEI

Ilustrasi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar