Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju kepada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepenuhnya qana'ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber-inabat. Dan siapa yang tidak wara', tidak sah untuk ber-zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorangpun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut, yang dengannya struktur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendengar Abu Ali as-Daqqaq r.a. berkata, "Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada para santri Abu Utsman, 'Apa yang diperintahkan syekh kalian kepada kalian?' Mereka menjawab, 'Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.' Maka al-Wasithy berkata, 'Syekh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah syekh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang ghaib dengan memandang kepada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang ghaib?' Maksud al-Wasithy dengan kata-kata itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian itu bisa merasukkan adanya cacat dalam adab.
B.S. Darussalamah, 22/7/1437 H
MEI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar