Sabtu, 21 Mei 2016

7. JAM' DAN FARQ

Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Al-farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-jam', berkaitan dengan hal-hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt. ) seperti munculnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-jam'."

Definisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam' dan farq.  Sebab kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan.  Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketaatan dan pengingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af'al Allah swt., maka sang hamba telah menyaksikan al-jam'Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah,  dan penetapan Al-Haq merupakan predikat al-jam'.

Bagi hamba haruslah berkondisi jam' dan farq.  Sebab siapa yang tidak berposisi farq,  ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapapun yang tidak berposisi jam', ia tidak pernah ma'rifat kepada-Nya.  Firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعبُدُ
Artinya: "Hanya kepada-Mu kami menyembah", merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya:
وَإِيَّاكَ نَستَعِينُ
Artinya: "dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan", merupakan isyarat al-jam'.

Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya melalui bahasa munajatnya, apakah memohon, berdoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri ataupun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun,  apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yang telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya,  ataupun yang dikenalkan oleh-Nya makna-makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan yang diperlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam'.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha'luky r.a. ('Engkau buat menjadi bersih pandanganku kepadamu'). Ketika itu Abul Qasim an-Nashr Abadzy hadir disana.  Lalu Ustadz Abu Sahl berkata, َجَعَلت ('huruf ta' dinashab'). Maka Abu Nashr Abadzy,  berkata: ُجَعَلت ('huruf ta' di dhammah')."

Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan ُجَعَلت = kujadikan  berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri,  seakan-akan sang hamba berkata,  ini  Jika ia berkata َجَعَلت = engkau jadikan,  seakan-akan mengatakan, bebas dari beban.  Bahkan ia berkata kepada Tuhannya, "Engkaulah Yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku. Yang pertama,  berkaitan dengan bisikan doa, dan yang kedua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka bedakan antara orang yang mengatakan,  "Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,"  dan  ucapan orang,  "Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu,  aku menyaksikan-Mu."

Adapun jam'ul jam'i di atas semua itu.  Manusia memiliki frekuensi masing-masing sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka.  Barangsiapa menetapkan atas dirinya,  berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan,  berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-jam'. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan,  lebur dari dirinya,  dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat,  maka tahap inilah yang disebut jam'ul jam'i.

Tafriqah adalah penyaksian terhadap makhluk, hanya untuk Allah swt.  Al-jam', adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt., dan jam'ul jam'i, berarti sirna dengan universalitas,  dan fana'-nya rasa kepada selain Allah swt.  ketika terlanda hakikat. Jam'ul jam'i merupakan kondisi mulia.  Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefardhuan dengan segenap waktunya,  sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt., bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal zatnya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.

Sebagian Sufi mengisyaratkan kata al-jam' dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk.  Maka globalitas dari keseluruhan dari keseluruhan dalam proses bolak-balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah Yang memunculkan substansi-substansi mereka itu.  Allah-lah Yang menjalankan sifat-sifat mereka.  Kemudian Allah swt. memisahkan dalam ragam:  Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,  dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-Nya. Pada satu golongan Allah memuliakan melalui karamah-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt. memutus kehendak mereka untuk menyatakan Diri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Bahkan ada golongan yang lebih didekatkan dan dihadirkan, kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan.   Ragam Af'al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. 

Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jam' dan farq:
Engkau telah membuat nyata-Mu
dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu 
Kita berkumpul bagi makna-makna
dan berpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
yang mendekatku.

Mereka bersyair lagi:
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
adalah dua dalam satu bilangan.

Pondok Al-Qusyairiyah, 14 Sha'ban 1437 H.
MEI
Gambar ilustrasi 
Lukisan karya
KH. Luqman Hakim, Ph.D., MA, SHI.
Syaikh Thariqah Syadziliyyah,
Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah.

Jumat, 06 Mei 2016

6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD

Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat dikategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.

Dalam bab wazan Tafa'ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair:

Bila kelopak mata menjadi sempit
dan pelaku tiada lagi sulit membuka
lalu kurobek mata, tanpa cela

Ada pandangan yang menyatakan,  "Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq."

Ada pula yang mengatakan, "Tawajud diserahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut."

Hikayat yang bisa dikenal,  muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy r.a., bahwa ia berkata, "Ketika aku disisi al-Junayd,  di sana ada Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri,  sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,  'Tuanku,  tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?' Al-Junayd menjawab, 'Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.' (Q.s. an-Naml: 88).  Lalu al-Junayd pun bertanya, 'Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?'  Aku katakan, 'Tuanku, ketika aku hadir di suatu tempat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, maka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud'."

Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,  sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.

Saya mendengar Syeikh Abu ad-Daqqaq r.a. berkata, "Apabila manusia menjaga diri dengan etika keutamaan saat dalam penyimakan. Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya."

Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para syeikh mengatakan, "Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jamak al-wujd) merupakan buah dari wirid. Setiap orang yang bertambah upaya ruhaninya,  Allah pun akan menambah kelembutannya."

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Sesuatu yang sampai ke dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya.  Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd. Seperti sesuatu hal yang dilakukan melalui muamalat lahiriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam batin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari muamalat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun."

Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wajdWujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa' ketika muncul kekuasaan Hakikat.  Inilah arti dari ucapan Husain an-Nury, "Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni:  Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhanku."

Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, "Ilmu Tauhid merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya."  Dalam konteks artian ini, penyair berkata:

Wujud-ku ada ketika aku ghaib dari wujud
Karena yang tampak padaku dalam syuhud (penyaksian).

Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedangkan wujd mengharuskan ketenggalaman hamba.  Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan hamba.  Seperti orang yang menyaksikan lautan.   Kemudian mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan secara berurutan,  mulai dari:  Qushud (bermaksud), Wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat dicapai."

Bagi orang yang ber- wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah keabadiannya dengan Al-Haq, sedangkan kondisi mahw-nya adalah kefana'annya dengan Al-Haq.   Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai (wushul). Karena itu,  Rasulullah saw. bersabda (Hadis Qudsi), "Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat."

Manshur bin Abdullah berkata, "Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian bertanya, 'Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud?'   'Benar.  Cahaya yang memancar, bersamaan dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.' demikian jawab asy-Syibly."

Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu'tazz: 

Gelas yang dibasahi air karena cemerlang beningnya,
Lalu mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
diwarisi 'Aad dari negeri Iram
sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya

Suatu kisah berkenaan dengan Abu Bakr ad-Duqqy: "Jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannya ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil.  Ad-Duqqy sendiri seorang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi,  Abu Bakr ad-Duqqy berkata, 'Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!"  Sementara Jahm ad-Duqqi adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata,  'Ini dia!' Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi.  'Wahai Syeikh,  tobat! tobat!' teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy melepaskannya."

Semangat Jahm benar,  dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insyaf dan berdamai.
Begitu pula dengan orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal,  tidak paham serta tidak merasa. Istri Abu Abdullah at-Targhundy berkata, "Ketika bencana kelaparan sedang melanda,  sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah.  Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, 'Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.'  Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak itu ia tidak pernah bangkit,  kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia."

Kisah ini menunjukkan,  bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat.  Demikianlah sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya,  dikarenakan kepeduliannya  (syafaqah) terhadap nasib sesama kaum Muslimin.  Inilah derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya. 

Masjid An-Nuur, 30/7/1437 H 

MEI 

Gambar ilustrasi 
Lukisan karya Sang Begawan 
Syeikh Luqman Hakim
Syeikh Thoriqoh Syadziliyyah 

Selasa, 03 Mei 2016

5. HAIBAH DAN UNS

Rasa takut disertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada diatas tingkat khauf, dan basth di atas tingkat raja', maka haibah lebih tinggi daripada qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth.
(catatan MEI:  Maksudnya, uns lebih tinggi tahapnya. Sebab haibah muncul dari qabdh, yang bermula dari khauf.  Sedangkan uns muncul dari raja'. Karena orang yang takut kepada Allah swt. melihat kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu oleh-Nya,  dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah,  sehingga muncullah haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus,  kalbunya akan lapang dan mendapatkan uns.)

Hak haibah adalah keghaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam keghaiban. Orang-orang yang berada dalam ghaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam keghaiban.

Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasan dalam bagian "minuman jiwa".  Mereka berkata, "Tempat terendah dalam al-uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh."

Al-Junayd r.a. berkata, "Aku mendengar batinku berkata, 'Seorang hamba bisa sampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.'  Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu."

Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-'Ikky, ia berkata,  "Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya, 'Wahai Tuanku, Anda berbuat demikian pada diri sendiri,  sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.'  Ia menjawab,  'Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka, beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu akan merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu.  Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan'."

Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang,  karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba.  Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkin.  Mereka hangus dalam wujud nyata.  Tidak ada haibah dan tiada pula uns, tidak ada ilmu maupun rasa.

Cerita ini dikenal dari Abu Sa'id al-Kharraz:  "Suatu saat di kampung  aku berkata:
Aku datangi, maka aku tak mengerti dari mana, siapa aku,
kecuali apa yang dikatakan manusia
pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusianya
Jika tak kutemui seorang pun,
aku datangi diriku.

Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku:
Amboi,  siapa yang tahu sebab-sebab
yang lebih luhur wujud-nya,
lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
dan dengan manusia.
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat,
pada jin dan manusia."

Pondok Al-Qusyairi, 25/7/1437 H

MEI

Gambar ilustrasi 
Lukisan karya 
Syeikh DR. KH. Luqman Hakim, MA 
Syeikh Thoriqoh Syadziliyyah 

Senin, 02 Mei 2016

4. QABDH DAN BASTH

Kedua istilah itu merupakan kondisi ruhani setelah seorang hamba menahapi tingkah laku al-khauf dan ar-raja'Al-Qabadh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-basth, setara kedudukannya dengan ar-raja' di mata pemula yang mencari jalan kepada Allah swt.

Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth, dan Raja'
- Al-Khauf:  Muncul dari sesuatu di masa depan,  terkadang takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
-Ar-Raja': Membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan kehilangan yang ditakuti,  serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula [dalam dunia Sufi].
-Al-Qabdh: Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga basth.

Orang yang mempunyai khauf dan raja',  hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian.
Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dan basth menurut keterpautan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan dari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominasi pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.

Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth): Kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mabsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.

Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Sebagian orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Disana ada seorang anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya [yang bisa merusak kalbunya]. Orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa iba kepada al-Qihthy, seraya berkata, 'Kasihan Syeikh, bagaimana digoda oleh anak-anak yang jelek itu?'  Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikitpun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran.  Mereka berkata, 'Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi oleh puncak-puncak bukit?"  Al-Qihthy menjawab, 'Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam Azali'." (Artinya, ia tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt., sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.)

Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang didalamnya seseorang berhak untuk bersopan-santun (adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.

Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketentraman sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, qabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.

Terkadang sebab-musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya.  Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini adalah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari,  justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap qabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong su'ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah swt. berfirman:
والله يقبض ويبسط وإليه ترجعون
Artinya: "Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Q.s. al-Baqarah: 245).

Terkadang basth datang seketika,  tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga dia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh,  jika demikian,  dia harus tenang dan menjaga adab. Pada waktu itu,  dia sedang mengalami bisikan yang besar.  Karena itu,  si pelaku harus menghindari makar yang samar di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, "Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqamku."  Karenanya berkatalah mereka, "Bertetaplah pada kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah, berupaya melapangkan."

Ada ahli hakikat (tahqiq) mengkategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang di atasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.

Al-Junayd, "Al-khauf dari Allah membuatku tergenggam. Dan ar-raja' dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana' dari diriku. Apabila ar-raja' melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku. Allah swt. dalam semua hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa gembiraku. Aku, dengan kehadiranku, merasakan rasa wujud-ku. Fana'ku datang dari diriku,  membuatku nikmat,  atau menggaibkan dariku, sehingga aku ringan."

Baiti Jannati, 24/7/1437 H.

MEI

Lukisan Ilustrasi 
Karya Sang Guru 
SYEIKH LUQMAN HAKIM 

Minggu, 01 Mei 2016

3. HAAL

Al-Haal (kondisi ruhani), menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam hati;  tanpa adanya unsur sengaja,  usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau sukacita. Maka setiap al-haal merupakan karunia.  Dan setiap maqam adalah upaya. Pada al-haal, datang dari wujud itu sendiri, sedang  al-maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.  Orang yang memiliki maqam, menempati maqam-nya, dan orang-orang yang berada dalam haal, bebas dari kondisinya.

Salah seorang guru berkata, "Beberapa al-haal seperti kilatan, kalau menetap, itu sekadar omongan nafsu."

Mereka berkata, "Al-Haal itu sebagaimana namanya, yakni,  al-haal seperti ketika menempati dalam kalbu,  kemudian hilang:

Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang.

Beberapa kalangan mengisyaratkan abadinya al-haal.  Mereka berkata, "Sebenarnya jika al-haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus,  dinamakan al-haal."

Disinilah Abu Utsman al-Hiry berkata, "Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku."  Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-haal.

Seharusnya dikatakan: Orang yang mengisyaratkan abadinya al-haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-haal berarti bagian dari seseorang, kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu: Jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut,  ia naik ke ihwal yang lebih lembut. Dan begitulah selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.

Pondok Al-Qusyairi,  23/7/1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi 

Sabtu, 30 April 2016

2. MAQAM

Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya,  di-wujud-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah menuju kepada-Nya.

Syaratnya,  seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum sepenuhnya qana'ah,  belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat,  tidak sah pula ber-inabat. Dan siapa yang tidak wara', tidak sah untuk ber-zuhud.

Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhaal,  dan al-makhraj berarti al-ikhraaj.  Tidak seorangpun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam tersebut,  yang dengannya struktur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shahih.

Saya mendengar Abu Ali as-Daqqaq r.a. berkata,  "Ketika al-Wasithy masuk ke Naisabur,  bertanyalah ia kepada para santri Abu Utsman, 'Apa yang diperintahkan syekh kalian kepada kalian?'   Mereka menjawab,  'Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.'  Maka al-Wasithy berkata,  'Syekh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah syekh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang ghaib dengan memandang kepada Yang Memunculkan dan Menjalankan yang ghaib?'  Maksud al-Wasithy dengan kata-kata itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena yang demikian itu bisa merasukkan adanya cacat dalam adab.

B.S. Darussalamah, 22/7/1437 H

MEI

Gambar Ilustrasi MAQAM 

Jumat, 29 April 2016

1. WAKTU

Esensi Waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, 'Engkau didatangi awal bulan', maka 'kedatangan' merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata,  "Waktu adalah sesuatu yang engkau berada di dalamnya.  Kalau engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Ketika engkau senang, maka senang itulah waktumu. Kalau engkau susah, susah itulah waktumu."  Maksud syekh tadi, waktu memiliki definisi yang umum bagi manusia.

Ada kalanya waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antar dua zaman:  Yang lampau dan yang akan datang.

Mereka juga mengatakan, bahwa seorang Sufi merupakan anak sang waktu.  Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan prioritas utama yang harus dikerjakan ketika itu,  mandiri terhadap perolehan seketika.

Dikatakan, "Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tetapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu."   Dikatakan,  "Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya."

Terkadang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan oleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi diri mereka. Mengatakan [si Fulan dengan hukum waktu], yakni:  Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa usahanya sendiri.  Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt., atau terapan menurut hukum syariat.  Karena adanya penelantaran terhadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, disamping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yang Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.

Mereka berkata, "Waktu adalah pedang." Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran akan melewatinya.

Dikatakan, "Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran."

Seperti dalam bait ini:
Dan seperti pedang
jika tak mencegahnya untuk menyentuh tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.

Barangsiapa ditolong sang waktu,  maka waktu hanya baginya.  Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah kepadanya.

Saya mendengar Syekh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu,  tanpa melenyapkanmu sama sekali."

Sang Syekh bersyair:
Setiap hari ia lewat meraih tanganku
Memberikan penyesalan dalam hatiku
kemudian ia berlalu.

Dalam syair pula:
Seperti penghuni neraka
jika kulit-kulitnya terpanggang matang
kembali pula kulit itu,
bagi suatu penderitaan.

Dikatakan:
Bukanlah orang mati itu
orang istirahat sebagai mayit
Tapi orang mati itu
Kematian hidupnya.

Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya.
Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shaw), maka ia tegak mandiri dengan syariat.  Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi,  yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

Ponpes Al-Qusyairiy, 21 Rajab 1437 H.

MEI

Ilustrasi 

Kamis, 28 April 2016

II. TERMINOLOGI TASAWUF

Ketahuilah, bahwa setiap golongan dari para ulama mempunyai terminologi praktis yang selalu menjadi patokan. Mereka, dengan penggunaan kata-kata tersebut, melakukan internalisasi yang berbeda dengan lainnya, sebagaimana mereka sepakati untuk tujuan mereka, agar dipahami kelompok massanya, atau terpaku pada makna-maknanya secara global. Mereka menggunakan kata-kata yang dimengerti oleh mereka, dengan maksud agar makna di dalamnya hanya bagi mereka, membuat tirai bagi orang yang menentang tharikatnya, agar makna kata-kata mereka menjadi samar bagi orang lain, sebagai bentuk fanatis terhadap rahasia-rahasia mereka, agar tidak tersebar kepada yang bukan ahlinya.  Sebab hakikat mereka bukanlah kumpulan dari ragam tugas,  atau tertarik oleh macam upaya.  Namun, tasawuf merupakan makna-makna yang telah diciptakan Allah swt. dalam setiap kalbu kaum Sufi, dan hakikat-hakikatnya tersari dari rahasia-rahasia kaum Sufi tersebut.

Kami bermaksud menjelaskan kata-kata tersebut agar mudah difahami oleh orang yang mau bersikukuh mendalami makna-maknanya dari mereka yang menempuh jalan tasawuf dan mengikuti tradisi mereka.*

*Ungkapan dari para Sufi sering kontra terhadap sebab logika duniawi, ketika mereka menguraikan tentang kondisi ruhani, hasrat dan bisikan hatinya, serta rasa terdalam nya. Ungkapan itu tidak bisa menggambarkan kilatan atau rasa yang begitu cepat,  dan sulitnya mencari wujud serupa dalam realitas.

Baitussujud Darussalamah, 20 Rajab 1437 H

MEI

Gambar Ilustrasi 

Rabu, 27 April 2016

ALLAH SWT. YANG HAQ

Para syaikh dari thariqoh ini mengatakan soal tauhid:  Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahakasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Mahaagung, Mahaluhur, Mahabicara, Maha Melihat, Mahabesar, Mahahidup, Mahatunggal, Mahaabadi, dan segalanya bergantung kepada-Nya.

Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Mahakuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat,  Maha Mendengar dengan sifat Sam',  Maha Melihat dengan sifat Bashar, Mahabicara dengan Kalam, dan Mahahidup dengan Hayat, serta Mahaabadi dengan Baqa'.

Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupakan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Mahasuci Allah dari segala keharusan menentukan,  dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.

Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.

Allah adalah Tunggal Dzat-Nya, Yang tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.

Allah bukan jasad, materi,  benda dan bukan sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.

Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.

Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira,  dan dari hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana Dia mencipta dan apa yang dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya: Di mana Dia, dan bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul kata-kata: Kapan Ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga dikatakan, "Melampaui kekinian dan zaman." Tetapi Allah tidak bisa dikatakan: Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu?  Karena, tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.

Allah juga tidak bisa dipertanyakan: Apakah Dia? Karena Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya.  Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.

Dia memiliki Asma'ul Husna dan Sifat-sifat Luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi penghinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului qadha'. Apa yang diketahui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang. Dia berkehendak untuk tidak terjadi.

Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan submateri. Allah Yang Mengutus utusan untuk para umat, bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan para Nabi a.s., tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan menentang-Nya. Dan Nabi kita Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar.  Khulafaur-Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat Nabi saw.,  selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para auliya'-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan ijma'.  Dan rekayasa kebatilan sirna melalui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan oleh para pejuang agama,  karena firman Allah swt.:
ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
Artinya: "Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. ash-Shaff: 9).

Baitussujud Darussalamah, 19 Rajab 1437 H.

MEI 

Ilustrasi 

Sabtu, 23 April 2016

ARASY

Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah SWT.:

الرحمن على العرش استوى 

Yang artinya: "Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy." (Q.S. Thaaha: 5).
Jawabnya, "Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap Yang Maha Pemurah (al-Rahman) menjadi semayam(-Nya)."

Ja'far bin Nashr di tanya soal ayat tersebut. "Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu itu tidak ada yang lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain."
Ja'far ash-Shadiq berkata, "Barangsiapa berpraduga bahwa Allah SWT. ada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung sesuatu."

Ja'far ash-Shadiq menafsirkan Kalamullah, "Kemudian Dia mendekat, lalu tambah dekat lagi." (Q.S. An-Najm: 8), bahwa, "Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang di maksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma'rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh."

Al-Karraz berkata, "Hakikat mendekat adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah SWT."

Ibrahim al-Khawwas menegaskan, "Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati seorang laki-laki yang di rekadaya setan, sehingga aku harus mengumandangkan adzan ke telinganya. Tiba-tiba terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya, 'Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata: al-Qur'an adalah makhluk'."

Ibnu Atha' (Washil bin Atha' al-Mu'tazily) berkata, "Sesungguhnya Allah SWT. ketika menciptakan huruf-huruf, Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam a.s., diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di kalangan malaikat-Nya satu pun.  Kemudian huruf-huruf itu meluncur dari lisan Adam a.s. melalui struktur yang berlaku dan struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut."

Ibnu Atha' menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yang diperbuat.

Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen, "Tawakal adalah perbuatan kalbu, dan Tauhid merupakan ucapan kalbu."

Al-Husain bin Mansur berkata, "Siapa yang mengenal hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan: Mengapa dan Bagaimana."

Al-Wasithy menegaskan, bahwa tidak ada yang lebih mulia dari makhluk Allah ketimbang ruh.

Pondok Al-Qusyairiy, 15 Rajab 1437 H

MEI

Gambar ilustrasi 

Kamis, 21 April 2016

KUFUR

Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepada Allah. Jawabnya, "Kufur dan iman, dunia dan akhirat;  dari Allah,  kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagai tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa' dan fana' nya,  dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan."

Dikatakan oleh al-Junayd,  bahwa sebagian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab al-Junayd, "Tauhid adalah keyakinan."
"Jelaskan padaku, apa tauhid itu? " demikian kata si penanya.
"Tauhid adalah ma'rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt.,  Dia Maha Esa tidak berkawan.
Apabila Anda sudah berpandangan demikian,  Anda telah menauhidkan-Nya." jawab Junayd.

Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan. "Doakan aku!" kata orang tersebut. "Kalau Anda benar-benar mantap dalam ilmu ghaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian, suatu doa tidak mungkin bisa menyelematkan orang tenggelam." jawab Dzun Nuun.

Abul Hasan an-Nury berkata,  "Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaratkan kepada Allah,  bahwa Dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan." Sedangkan Abu Ali ar-Rudzbary ketika ditanya soal Tauhid, menjelaskan,  "Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan dan pengingkaran terhadap keserupaan.  Tauhid melebur dalam satu kalimat,  yaitu: Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah swt.  pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu." Karena firman Allah swt.:
ليس كمثله شيء، وهو السميع البصير
Artinya: "Tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. asy-Syuura 11)

Abul Qasim an-Nashr Abadzy berkata, "Surga abadi dengan keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya kepadamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya. Dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-Nya."
Ahlul Haq berkata, "Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi karena abadi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahlul haq."

Nashr Abadzy menandaskan, "Anda bersimpang-siur antara sifat-sifat kerja (fi'l) dengan dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah sifat Allah swt. secara esensial. Apabila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda di integrasi oleh sifat-sifat fi'l. Jika sampai pada tahap al-Jam'u, Anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzat-Nya."

Sang Syaikh, Imam Abu Ishaq al-Isfirayainy r.a. mengatakan,  "Ketika aku datang dari Baghdad,  aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh.  Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk.  Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kami mendengarkan pembicaraanku.  Hingga berlalu beberapa hari kemudian,  ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra', 'Aku bersaksi,  sesungguhnya aku seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini,' katanya sambil menunjuk ke arahku."

Dikisahkan tentang Yahya bin Mu'adz,  bahwa seseorang telah berkata kepadanya,  "Tolong beritahu aku mengenai Allah swt.? "  Yahya menjawab,  "Tuhan Yang Maha Esa."  Lalu dia katakan kepada Yahya, "Bagaimana Dia?"  "Dia Raja Yang Maha Kuasa," jawab Yahya.  Orang itu kembali bertanya, "Dimana Dia?"  "Dia benar-benar mengawasi, " jawabnya.  "Aku tidak bertanya tentang ini," tandas si penanya. Maka Yahya menjawab,  "Tidak ada lagi selain itu."

Ibnu Syahin bertanya kepada Junayd tentang makna:  ma'a. Junayd menjawab,  bahwa ma'a mengandung dua makna: ma'al an-biyaa' (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt.: 
إني معكما أسمع وأرى
Artinya: "Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua,  Aku mendengar dan melihat." (QS. Thaaha: 46).
Dan makna ma'a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah swt. berfirman:
ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم
Artinya: "Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,  melainkan Dialah yang keempatnya." (QS.  al-Mujaadilah: 7).
Ibnu Syahin berkomentar,  "Orang seperti Anda benar-benar layak untuk menyampaikan petunjuk kepada umat,  mengenai Allah swt."

Pondok Al-Qusyairiy, 13 Rajab 1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi Property of
museumdantanahliat. com 

REZEKI

Rezeki hamba diciptakan hanya untuk Allah swt., begitu juga tak ada Pencipta bagi mutiara-mutiara dan materi, kecuali Allah swt.

Abu Sa'id al-Kharraz mengatakan, "Siapa saja yang menduga bahwa apabila seseorang mencurahkan tenaganya terhadap tujuan yang diraihnya,  berarti ia tertolong. Dan barangsiapa menduga tanpa jerih-payah akan mendapatkan yang diraihnya,  berarti hanya angan-angan belaka."

Al-Wasithy berkata, "Maqam-maqam (tahapan) yang diraih terdiri dari bagian-bagian yang terbagi, dan predikat yang diberlakukan:
Bagaimana semuanya ditarik dengan gerakan atau diperoleh dengan usaha?"

Pondok Al-Qusyairiy, 13 Rajab 1437 H.

MEI

Gambar ilustrasi 

Jumat, 08 April 2016

IMAN

Abu Abdullah bin Khafif berkata,  "Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai hal-hal yang gaib."
Abul Abbas as-Sayyary berkata, "Pemberian Allah itu ada dua macam: Karamah dan Istidraj. Segala hal yang menetap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala hal yang sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja,  'Aku beriman, Insya Allah'!"

Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan,  "Orang-orang yang beriman melihat Allah swt.  dengan mata hati,  tanpa pangkal batasan dan kawasan."

Abul Husain an-Nury berkata,  "Kalbu adalah tempat penyaksian Al-Haq. Kami tidak pernah melihat kalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan kalbu Muhammad saw. Lalu Allah swt. memuliakannya lewat Mi'raj,  sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah swt. dan penyempurnaan."

Abu Ustman al-Maghriby berkata,  "Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku.  Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah. 'Aku sekarang masuk Islam,  dengan Islam yang baru (sebenarnya)'."

Abu Ustman ditanya soal makhluk. Jawabnya,  "Cetakan dan bayangan,  yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasaan Ilahi."

Al-Wasithy berkata,  "Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah,  dan keduanya pun tampak dengan ijinNya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zat-nya, seijin Allah.  Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah."

Pondok Al-Qusyairiy, 11 Rajab 1437 H.

MEI 

Minggu, 27 Maret 2016

Sifat-Sifat

Abul Hasan  al-Busyanjy r.a. berkata, "Tauhid berarti Anda tahu bahwa Allah swt.  tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat."

Al-Husain bin Mansur al-Hallaj menegaskan,  "Al-Qidam hanyalah bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tampak bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya,  maka bencanalah yang menyentuhnya. Hal-hal yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya. Siapa yang berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata dimana......;
Sungguh Mahasuci Allah swt., Dia tidak dilindungi oleh sesuatu diatas, dan tidak pula dikecilkan oleh yang dibawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada,  juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memiliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memiliki cacat. Ada-Nya tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudust)-nya."

Apabila Anda berkata, "Sesuatu telah berlalu,.." maka waktu telah didahului-Nya.
Jika Anda katakan:  Hawa,  maka ha' dan wawu  adalah ciptaan-Nya.  Apabila Anda berkata, "Dimana? " Maka, Wujud-Nya telah mendahului tempat.

Huruf adalah ayat-Nya,  wujud adalah ketetapan-Nya,  ma'rifat adalah tauhid-Nya,  dan tauhid-Nya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal, selalu berbeda dengan-Nya.  Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau Dia kembali pada sesuatu, padahal Dialah yang memunculkannya? Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak berukuran ketinggian, kedatangan-Nya tanpa berpindah. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,  Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, dimana tiada sesuatu pun menyamai-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Yusuf bin al-Husain berkata,  "Ada seorang berdiri di antara dua sisi Dzun Nuun al-Mishry. Orang itu bertanya, 'Berilah aku kabar tentang tauhid, apa sebenarnya tauhid itu?'  Dzun Nuun menjawab,  'Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan,  dan sebab langsung bagi segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tak ada sebab langsung bagi ciptaan-Nya.  Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya kecuali Allah swt. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda dengannya'."

Al-Junayd mengatakan, "Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan pekerjaan-Nya."

Jatibarang, 17 Jumadil Tsani 1437 H

MEI


Sabtu, 26 Maret 2016

Ma'rifatullah

Abu Bakr asy-Syibly berkata, "Allah adalah Yang Esa,  Yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Mahasuci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya."

Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya.  Ia berkata, "Ma'rifat." Karena firman Allah swt.: وما خلقت الجن والاس إلا ليعبدون
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyaat 56)

Ibnu Abbas menafsiri Illaa liya'buduun dimaksudkan adalah Illa liya'rifuun (kecuali untuk ma'rifat kepada-Ku).

Al-Junayd berkata, "Hajat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah ma'rifat makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercipta bagaimana ia diciptakanSehingga diketahui Sifat Khalik dari makhluk, dan Sifat Yang Qadim dari yang baru.   Sang makhluk merasa hina ketika dipanggil oleh-Nya dan mengakui kewajiban ta'at kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban-kewajiban harus diberikan."

Abu Thayib al-Maraghy berkata,  "Akal mempunyai buktihikmah mempunyai isyarat, dan ma'rifat mempunyai syahadat. Akal menunjukkanhikmah mengisyaratkan, dan ma'rifat menyaksikanbahwasanya kejernihan ibadah tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid."

Al-Junayd ditanya soal tauhid,  jawabnya,  "Menunggalkan Yang Mahatunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dialah Yang Esa Yang tiada beranak dan tidak diperanakkanDengan kontra terhadap antagonikeraguan dan keserupaantanpa upaya penyerupaan dan bertanya bagaimanatanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.  Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. "

Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang ma'rifat.  Jawabnya,  "Ma'rifat adalah nama. Artinyawujud pengagungan dalam kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpangan dan penyerupaan. "

CIREBON,  16 Jumadil Tsani 1437 H

KH. Muhammad E. Irmansyah,  MBA,  SHI. 

Jumat, 25 Maret 2016

Motivasi Penulisan Risalah

Di saat cobaan panjang melanda kita dewasa ini - secara sepintas kita melihat kisah tersebut - saya sangat terdorong untuk membeberkan kemungkaran mereka dengan tharikat seperti itu, bahwa para pengikutnya telah berbuat keburukan,  atau orang yang berbeda dengan mereka selalu dicaci, bahkan suatu bencana di negeri itu menimpa orang-orang yang kontra dengan tharikat mereka, disamping mendapatkan ancaman dan siksaan.
Ketika saya renungkan secara mendalam atas bencana kelemahan ini, ingin rasanya membongkar dan mengikis habis pandangan mereka itu. Semoga Allah memberikan kedermaan melalui Maha Lembut-Nya dalam menggugah orang yang mengingkari sunnah yang luhur,  yang telah menelantarkan etika tharikat yang hakiki.
Ketika waktu yang tersisa hanya dipenuhi dengan kesulitan, sementara generasi zaman di negeri ini telah terseret pada kebiasaannya, terbujuk oleh kemurtadannya, tiba-tiba hasrat saya menghentak dalam kalbu untuk meluruskan secara total dengan dasar-dasar yang perlu dibangun, dan kembali pada generasi Salafnya. Kemudian saya tuangkan Risalah ini kepada Anda sekalian (semoga Allah memberikan  kemuliaan kepada Anda).

Saya juga menguraikan sebagian perjalanan para syaikh tharikat ini, adab dan akhlak mereka,  pekerjaan dan akidah dalam kalbunya.  Serta isyarat-isyarat kerinduan, metode dalam menapaki tahap-tahap dari awal hingga puncaknya, agar orang yang hendak menempuh (al-murid) tharikat ini memiliki kekuatan hati. 
Dan untuk saya, dari Anda sekalian mengharapkan adanya suatu koreksi,  sebagai kesaksian.  Tentu saja, keluhan ini merupakan hiburan bagi saya. Dan dari Allah Yang Maha Mulia kita mendapatkan fadhal dan pahala.  Saya memohon pertolongan kepada Allah swt. terhadap apa yang saya tuturkan, dan saya senantiasa menyerahkan kepada-Nya. 

Saya memohon agar dijaga dari kekeliruan dalam Risalah ini, serta memohon ampunan dan pertolongan-Nya. Dialah Yang memberi fadhal secara layak, dan Kuasa terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya.

438 H/1046 M.
Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairy

Risalah ini terjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas; ditulis ulang oleh: Syekh  K.H. DR. Luqman Hakim, MA, SHI.;  K.H. Muhammad E. Irmansyah, SHI.

Kitab Ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi 'ilmi at-Tashawwuf 
Syaikh Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairy 

I. PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

Ketahuilah, para syaikh golongan Sufi telah membangun kaidah-kaidah mereka di atas prinsip tauhid yang shahih. Mereka telah membuat kaidah ini jauh dari bid'ah, relevan dengan ajaran tauhid yang telah diwariskan oleh generasi Salaf dan Ahli Sunnah. Tak ada rekayasa atau penyimpangan di dalamnya. Mereka mengetahui yang menjadi Hak Allah, dan mereka telah membuktikan hal-hal yang menjadi predikat Wujud, dari segala yang tiada. 
Karena itu, al-Junayd r.a., pemuka tharikat ini berkata, "Tauhid adalah menunggalkan Yang Maha Dahulu (Qidam) dari yang datang kemudian (hudust)."

Para syaikh itu membangun aturan dasar tauhid dengan argumentasi yang jelas dan bukti yang layak. Sebagaimana dikatakan Ahmad bin Muhammad al-Jurairy r.a., "Siapapun yang berpijak pada ilmu tauhid yang tidak didasari oleh pembuktian dari bukti argumentasinya, akan disirnakan oleh bujuk yang mendahului dalam hasrat kebinasaan."
Maksud syaikh ini, barangsiapa bertaklid dan tidak merenungkan dalil-dalil/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yang menyelamatkan. Ia akan terjerumus dalam jurang kehancuran.

Sementara orang yang mau merenungkan tulisan dan keunggulan kalimat-kalimat mereka, ia akan menemukan kumpulan ucapan dan rinciannya yang memberikan kekuatan kontemplatif; bahwasanya kalangan manapun tidak bisa membatasi diri lewat angan-angan dalam pembuktian, dan tidak memasuki tahapan pencarian secara menyimpang.

CIREBON, 15 Jumadil Tsani 1437 H. 

Gambar ilustrasi at-Tauhid 

Problematika Kita

Ketahuilah semua, bahwa ahli-ahli hakikat dari golongan Sufi ini, mayoritas telah tiada, yang tersisa hanya bekasnya saja. Seperti dikatakan penyair:

Sedangkan kemah-kemah
sungguh seperti kemah mereka
Aku melihat wanita-wanita yang hidup
bukanlah wanita kemah itu.

Yang terjadi adalah melemahnya tharikat tersebut,  bahkan tergusur.
Sementara syaikh yang membimbing mereka telah berlalu.
Generasi muda sangat sedikit yang mengikuti petunjuk dan tradisi mereka. Sehingga hilanglah wira'i, cakrawalanya menjadi sempit,  justru sikap tamak dan ikatannya yang menguat.
Hati mereka semakin jauh dari citra syariat.

Bahkan mereka menganggap remeh dan acuh tak acuh terhadap persoalan agama,  sehingga mereka terhempas pada pandangan yang tidak memisahkan halal dan haram.

Selain menganggap enteng dalam melaksanakan ibadah,  mereka juga meremehkan puasa dan shalat.  Mereka terjerumus dalam medan kealpaan,  menancapkan tonggak-tonggak syahwat,  tanpa peduli menerjang larangan-larangan.  Mereka bangga atas apa yang mereka peroleh dari rakyat, wanita-wanita dan orang-orang yang memiliki kekuasaan.

Kemudian mereka membiarkan apa yang telah mereka langgar itu. Sehingga mereka mengisyaratkan pada hakikat-hakikat tertinggi dengan ihwal (kondisi-kondisi spiritual)-nya, lalu mengaku bahwa mereka telah bebas dan merdeka dari dari belenggu, mereka telah mewujudkan hakikat bertemu dengan Allah swt.  (wishal). Dan mereka merasa bahwa dirinya telah berdiri di atas kebenaran, dengan aturan-aturan hukum sendiri. Allah swt. tidak lagi memberi beban pada diri mereka, hal-hal yang diutamakan atau dilarang-Nya, begitupun Allah tidak mencaci dan mengecam mereka.  

Mereka menyangka ketika dibukakan rahasia-rahasia Ahadiyah dan ber-transenden kepada universitalitas, maka segala aturan manusia biasa tidak berlaku.  Mereka menganggap telah abadi setelah melampaui fana'nya melalui cahaya-cahaya Shamadiyah. Orang yang mempunyai pendapat berbeda dengan mereka, dianggap bukan sebanding atau setahap dengan mereka. Orang yang ingin mengganti pandangan mereka malah dianggap sebagai golongan yang harus disingkirkan di mata mereka.

Cirebon,  15 Jumadil Tsani 1437 H

MEI 

Gambar Ilustrasi

Kamis, 24 Maret 2016

Golongan Sufi

Allah swt. telah menjadikan golongan ini sebagai barisan kekasih-kekasih-Nya, setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada mereka. Allah menjadikan kalbu mereka sebagai sumber rahasia-Nya, dan memberikan keistimewaan di antara para umat melalui kecemerlangan cahaya-Nya.

Mereka adalah para penolong bagi makhluk. Mereka memerankan tingkah lakunya bersama dan dengan al-Haq.   

Allah menjaga mereka di tempat-tempat musyahadahketika ditampakkan hakikat-hakikat Ahadiyah-Nya kepada mereka.  

Allah menolong mereka dalam menegakkan adab ubudiyah,  dan Allah menampakkan secara nyata kepada mereka jalan-jalan hukum rububiyah.  

Lalu mereka menegakkan sesuai dengan kewajiban dan tugas,  dan mereka mewujudkan apa yang telah dianugerahkan Allah swt. melalui kreasi hati dan upaya amal. Kemudian mereka kembali kepada Allah swt. dengan segala kejujuran fakir dan sifat leburnya jiwa

Mereka sama sekali tidak mengandalkan apa yang telah dihasilkan itu, sebagai buah amalnyaAtau kejernihan ilmu yang lahir dari tingkah lakusebagai ilmu mereka

Segalanya dari Keagungan dan Keluhuran Allah swt.,  Yang berbuat sesuai kehendak-Nya, memilih siapa yang diinginkan-Nya, di antara para hamba.  

Dia tidak dihukumi oleh makhlukbegitu pula tidak harus memenuhi hak makhluk.
Pahala-Nya merupakan awal dari fadhal,  dan siksaan-Nya merupakan hukum keadilansedangkan amar-Nya merupaka qadha'.

CIREBON,  14 Jumadil Tsani 1437 H.


Gambar ilustrasi Syaikh dengan muridnya. 

Selasa, 22 Maret 2016

MUKADIMAH RISALAH QUSHAIRIYAH



بسم الله الرحمن الرحيم
 
Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dengan Keagungan Diraja-Nya, dan Maha Esa dengan Keindahan Kekuasaan-Nya, Perkasa dengan Keluhuran Ahadiyah-Nya, Mahasuci dengan Ketinggian Shamadiyah-Nya. Mahabesar dalam Dzat-Nya dari segala cakrawala setiap yang memandang-Nya, dan bersih dalam Sifat-sifat-Nya dari segala bentuk dan proyeksi.


Bagi-Nya, segala Sifat-sifat yang khusus bagi Diri-Nya, dan ayat-ayat yang terucap, bahwasanya sifat dan ucapan itu tidak sama dengan makhluk-Nya.
Mahasuci Allah Yang Perkasa. Tak ada batas untuk meraih-Nya, tak ada bilangan untuk mengukur-Nya, tak ada jarak untuk membatasi-Nya, dan tak seorangpun memberi pertolongan kepada-Nya, tak ada seorang anak yang memberi syafaat kepada-Nya, tak ada bilangan untuk mengumpulkan-Nya, tak ada tempat untuk tinggal-Nya, tak ada waktu yang menemukan-Nya, tak ada kepahaman untuk mengukur-Nya dan tak ada khayalan untuk memproyeksikan-Nya.


Maha Luhur Allah untuk ditanyakan: Bagaimana Dia? Atau, di mana Dia? Atau ciptaan-Nya diupayakan oleh periasan, atau kreasi-Nya dipertaruhkan dari kekurangan dan keburukan. Sebab bagi-Nya, tak satupun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dia tidak dikalahkan oleh kehidupan, dan Dia Maha Waspada lagi Maha Kuasa.
Saya memuji-Nya atas segala yang didelegasikan dan diciptakan. Dan saya bersyukur atas apa yang terangkum dalam genggaman dan tertolak, saya bertawakal kepada-Nya dan saya menerima, saya ridha terhadap apa yang telah diberikan dan apa yang tidak diberikan.


Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dengan Keesaan-Nya. Tak ada sekutu bagi-Nya. Suatu kesaksian yang diyakini lewat tauhid kepada-Nya, dan berjalan melalui kebajian abadi-Nya.

Dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah hamba-Nya yang terpilih, dan menjadi kepercayaan-Nya yang terpilih, menjadi Rasul-Nya yang diutus untuk seluruh umat manusia. Semoga, senantiasa Allahmencurahkan rahmat-Nya kepadanya, dan kepada seluruh keluarganya yang menjadi lampu penerang tak kunjung padam. Begitu juga kepada para Sahabatnya yang menjadi pintu-pintu pembuka hidayah. Semoga salam-Nya senantiasa tercurah, salam yang berlipat ganda banyaknya.


MEI, 13 Jumadil Tsani 1437 H, 22 Maret 2016 M.